20 Persen Mahasiswa di Bandung Berpikir Serius untuk Bunuh Diri

Kesehatan jiwa di kalangan akademisi hingga kini belum mendapatkan perhatian atau menjadi prioritas. Padahal mahasiswa calon penerus pemimpin bangsa dan menjadi prasyarat world class university. Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Teddy Hidayat mengatakan, peristiwa tiga mahasiswa bunuh diri di sebuah perguruan tinggi dalam waktu tiga bulan menjadi bukti tingginya angka bunuh diri di kalangan mahasiswa. “Sekaligus menjadi bukti kegagalan perguruan tinggi dalam memberikan perlindungan dan keamanan mahasiswanya,” ujar Teddy kepada rutankendari.com di sela-sela World Mental Health Day di Bandung

Teddy mengatakan, sebuah survei dilakukan tahun ini pada mahasiswa semester satu perguruan tinggi di Kota Bandung. Hasilnya, ditemukan 30,5 persen mahasiswa depresi, 20 persen berpikir serius untuk bunuh diri, dan 6 persen telah mencoba bunuh diri seperti cutting, loncat dari ketinggian, dan gantung diri. Perilaku bunuh diri, sambung Teddy, merupakan puncak dari berbagai permasalahan yang dihadapi mahasiswa.

Tekanan akademis hingga ketidakjelasan kelulusan Hal yang umum antara lain tekanan akademis, ketidakjelasan kelulusan, ancaman drop out. Kemudian faktor keuangan dan biaya hidup, hubungan dengan dosen, orangtua, serta muda mudi. “Kendala lain yang tidak kalah penting adalah belum setiap perguruan tinggi memiliki tim konseling. Kalaupun sudah ada belum dimanfaatkan oleh mahasiswa,” tuturnya. Hal lain yang mengherankan adalah hingga kini BPJS tidak membiayai penderita bunuh diri karena dianggap penyakit yang dibuat sendiri. Padahal banyak mahasiswa yang kehidupannya pas-pasan. Jangankan berobat, untuk hidup sehari-hari saja kekurangan.

Kondisi Indonesia Bunuh diri, sambung Teddy, merupakan masalah yang komplek, karena tidak diakibatkan oleh penyebab atau alasan tunggal. Perilaku bunuh diri diakibatkan interaksi dari faktor biologik, genetik, psikologi, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Di dunia, setiap tahunnya 800.000 orang meninggal karena bunuh diri atau setiap 40 detik satu orang meninggal karena bunuh diri. Di Indonesia, 10.000 orang setiap tahunnya meninggal karena bunuh diri atau setiap satu jam satu orang meninggal bunuh diri. “Bunuh diri adalah penyebab utama kedua kematian pada kelompok remaja dan dewasa muda usia 15-29 tahun,” ucapnya.

Bisa Dicegah Upaya Bunuh Diri

Teddy mengatakan, bunuh diri di kalangan akademisi bisa dicegah dengan advokasi pada pihak penentu kebijakan di perguruan tinggi dan pemerintah daerah. Advokasi dilakukan agar kampus mengakui, kesehatan jiwa termasuk bunuh diri merupakan masalah yang memerlukan perhatian dan komitmen untuk menanggulanginya. Kemudian lakukan assesment dan mengidentifikasi permasalahan. Lalu buat alur rujukan dan pelayanan termasuk pembiayaan mulai dari kampus hingga ke tepat pelayanan kesehatan jiwa.

“Ada kampus di Kota Bandung yang memberi layanan kesehatan jiwa untuk mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan sebesar 50 persen. Bagi yang keuangannya terbatas dibebaskan biayanya,” ucapnya. Upaya penting lainnya adalah pelatihan mental health first aid atau pertolongan pertama pada krisis mental dan bunuh diri. Pelatihan singkat ini berjalan 8-16 jam. Pelatihan dirancang bukan untuk melatih peserta menjadi terapis, tetapi memberi peserta pengetahuan mengenai tanda-tanda krisis mental seperti bunuh diri, mencederai diri, dan panik. “Juga dipelajari keterampilan membantu seseorang yang tengah mengalami krisis mental sampai dapat diatasi,” tuturnya.